Di Hari yang Paling Anjing, Menggonggong Aku pada Waktu

Farhan Adrinanto
3 min readOct 7, 2021

--

percakapan yang belum sempat

Kita tidak pernah sepakat soal lagu John Mayer mana yang paling menusuk hati, sebentar-bentar pilihanmu bisa berubah. Namun, satu hal yang kita amini bersama, Continuum memang selalu punya tempat sendiri.

Sewindu lalu, melihat cinta itu berarti menghirup semerbak mawar sembari memegangnya dengan tangan berlumur darah, entah karena tertusuk duri, atau memang sudah terlalu lama — terlalu kencang. Kita menyelip di antara jam istirahat dan jam pulang sekolah, menyempatkan diri di tengah gurauan tak berpikir panjang. Melirik pandang seolah hari itu jadi hari terakhir kita bersama-sama.

Kita santap perdebatan soal siapa yang dengan sengaja menyapa perempuan lain, di kantin, di gerbang sekolah, di tempat yang kemungkinan aku merokok diam-diam. Kita melihat kecemburuan seperti upacara Senin pagi, lengkap dengan topi, tali pinggang, dan umpatan pertanyaan mengapa matahari selalu seterik ini. Kita adalah dua orang yang memadu kasih layaknya yang paling tau tentang segala hal.

Ritual kita ketika sedang bersama tak jauh berbeda dengan anak seumuran lainnya; memainkan daftar putar kesukaan saat tengah berkendara. Kita memilih yang paling banyak lagu John Mayer-nya. Kita menembus lirik-liriknya, berandai seolah-olah itu benar terjadi. Mimpi burukmu malam itu misalnya, sejauh ini masih menjadi misteri. Pertanyaannya adalah, selama ini setiap malam kamu terlalu sering memberi pikiran pilihan;

“ini pure karena dengerin Dreaming with a Broken Heart sebelum tidur, atau memang dasar semua laki-laki sukanya menyakiti, acuh, dan bikin pilu setiap hati perempuan, ya?”

Kita tidak pernah sepakat soal lagu John Mayer mana yang paling menusuk hati, sebentar-bentar pilihanmu bisa berubah. Namun, satu hal yang kita amini bersama, Continuum memang selalu punya tempat sendiri. Seperti punya mantra, sebagian lagu-lagu di album tersebut cukup menggambarkan bagaimana kita menilik cinta — dari hal remeh sampai keputusan untuk tidak bersama yang kita ambil menjelang hari kelulusan tiba.

Aku masih ingat detil setiap kalimat-kalimat yang menjejali percakapan kita, raut wajah yang ketat itu tidak cukup luwes untuk menampung kanak-kanak yang terjebak di tubuh anak muda. Kita melempar murka ke sembarang — di tempat umum, di dalam mobil, di pinggir jalan, dimana-mana.

Setiap detiknya sesak dengan hal-hal yang jika diingat kembali sekarang, mungkin hanya akan menjadi bercandaan yang bikin geleng-geleng kepala.

Akhirnya, kita sampai di perjalanan waktu yang paling lengang. Ruang paling lapang tempat kita saling pandang tanpa perlu melibatkan lagi perasaan lama.

Aku menanti hari ini tiba, dan sebutan favoritku adalah hari yang paling anjing. Di hari itu, aku akan minum bergelas-gelas anggur merah, menyanyikan Continuum sampai serak, dan memandangi jalanan Jakarta yang riuh dengan banyak pertanyaan — pertanyaan tentang mengapa kita tidak ditakdirkan bersama.

Di hari yang paling anjing, menggonggongku sekuat tenaga, bertaruh lagi pada waktu dan kenangan, melanjutkan yang tersisa mulai dari tulisan ini.

So go on, baby
Make your little getaway
My pride will keep me company
And you just gave yours all away

--

--